Di tengah derasnya arus globalisasi dan serbuan kuliner internasional, Indonesia menyimpan kekayaan rasa yang luar biasa dari Sabang sampai Merauke. Dari Sumatera yang kaya rendang dan gulai, hingga Papua dengan papeda dan ikan kuah kuning, Nusantara adalah rumah bagi ribuan jenis makanan otentik yang lahir dari warisan budaya, kearifan lokal, dan bahan alam yang melimpah. Namun sayangnya, sebagian besar kekayaan kuliner ini masih tersembunyi di daerah-daerah, belum sepenuhnya mendapat tempat di pentas nasional.
Upaya mendorong tumbuh kembangnya usaha kuliner otentik khas Nusantara menjadi urgensi bersama. Bukan sekadar pelestarian rasa, tapi juga bagian dari strategi memperkuat ekonomi lokal, mendukung UMKM, dan membangun identitas bangsa lewat rasa. Kini, kuliner bukan hanya urusan dapur, tapi bagian penting dari diplomasi budaya, pariwisata, dan pembangunan ekonomi kreatif.
Kekuatan yang Tersembunyi di Warung-warung Tradisional
Sebagian besar makanan otentik Indonesia lahir dan bertahan di warung pinggir jalan, pasar tradisional, dapur rumah tangga, hingga kaki lima. Mereka tidak memiliki branding yang kuat, tidak semua punya akses modal, apalagi strategi pemasaran digital. Namun kekuatan utama mereka adalah keaslian rasa dan koneksi emosi dengan para pelanggan.
Sayangnya, hanya sedikit dari mereka yang mampu naik kelas menjadi restoran berskala nasional atau masuk jaringan komersial modern. Di sinilah intervensi dan strategi pembangunan dibutuhkan — agar kuliner otentik tidak terpinggirkan oleh makanan cepat saji asing yang didukung modal besar dan promosi masif.
Peran Pemerintah, Swasta, dan Platform Digital
Pemerintah, melalui kementerian seperti Kemenparekraf, Kementerian Koperasi dan UKM, hingga Kementerian Perdagangan, telah mulai mendorong program pendampingan usaha kuliner lokal. Mulai dari pelatihan manajemen, akses permodalan, sertifikasi halal, pengemasan, hingga promosi digital. Namun tantangan terbesar tetap pada kurasi dan konsistensi rasa agar kuliner otentik tetap terjaga di tengah proses komersialisasi.
Swasta juga memiliki peran penting, khususnya dalam menyediakan ruang jual yang strategis — seperti di pusat perbelanjaan, rest area jalan tol, kawasan wisata, hingga bandara. Beberapa program kolaboratif seperti festival kuliner Nusantara, tenant UMKM di rest area, hingga promosi lewat media sosial dan platform pemesanan makanan daring menjadi jembatan antara dapur tradisional dan pasar modern.
Platform seperti BUMMI (Beranda UMKM Indonesia) dan Selera Nusantara misalnya, hadir untuk mengangkat kuliner daerah ke pentas digital dan mempertemukan para pelaku usaha dengan pasar lebih luas. Dengan satu halaman profil gratis, UMKM bisa dikenalkan secara profesional ke masyarakat, wisatawan, bahkan investor.
Pendidikan Rasa dan Literasi Kuliner
Tak hanya soal bisnis, membangun kuliner Nusantara juga memerlukan “pendidikan rasa”. Masyarakat urban perlu dikenalkan ulang dengan keaslian makanan daerahnya sendiri. Festival kuliner, film dokumenter, liputan media, hingga kelas memasak bisa menjadi sarana membangun literasi rasa agar masyarakat tidak hanya mengenal burger dan sushi, tapi juga tahu bagaimana rasa sejati dari soto Banjar, sate lilit Bali, atau lompong sagu Ambon.
Literasi ini akan membangun kebanggaan, yang berujung pada konsumsi dan permintaan. Jika permintaan terhadap kuliner lokal meningkat, maka para pelaku usaha pun punya insentif untuk mempertahankan orisinalitas dan kualitas rasa.
Dari Dapur Tradisi ke Panggung Nasional
Langkah mendorong kuliner otentik Nusantara ke pentas nasional harus dilakukan secara sistematis. Mulai dari pendataan pelaku usaha, kurasi produk, pengembangan merek, distribusi lintas kota, hingga kemitraan dengan industri makanan dan logistik. Setiap kota besar bisa menjadi panggung bagi makanan dari kota kecil lainnya. Jakarta bisa menghadirkan makanan khas Palu. Surabaya bisa menjadi rumah bagi kuliner khas Pontianak. Sebaliknya, Makassar bisa menjadi pasar bagi masakan khas Sunda.
Dengan strategi terpadu dan dukungan semua pihak, kuliner otentik tidak hanya bertahan, tetapi tumbuh sebagai kekuatan ekonomi baru. Dan lebih dari itu, kuliner Nusantara akan menjadi wajah budaya bangsa yang mampu tampil percaya diri di negeri sendiri — sebelum akhirnya menembus pasar global.
Penulis: IAS