Sejarah Kuliner Nusantara Pada Abad Ke-4 Hingga Abad Ke-10 Masehi

Sumber gambar : https://www.hadila.co.id

 

Jejak Rempah, Kerajaan, dan Budaya

Kisah kuliner di Nusantara dimulai jauh sebelum era perdagangan global dan ekspor-impor yang kita kenal saat ini. Sejarah kuliner Nusantara pada abad ke-4 hingga abad ke-10 Masehi adalah cerminan dari kekayaan budaya, keragaman bahan pangan, serta interaksi lintas budaya yang melibatkan para pedagang, kerajaan, dan penduduk setempat. Pada periode ini, Nusantara belum menjadi sebuah negara kesatuan, melainkan terdiri dari berbagai kerajaan maritim yang saling terhubung melalui jalur perdagangan, budaya, dan agama.

1. Kerajaan-Kerajaan Maritim dan Pengaruh Budaya

Pada abad ke-4 hingga ke-10 Masehi, Nusantara dipenuhi oleh kerajaan-kerajaan besar yang berkembang pesat di wilayah pesisir. Beberapa kerajaan yang dominan pada periode ini antara lain adalah Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, dan Kerajaan Kutai di Kalimantan. Kerajaan-kerajaan ini memainkan peran penting dalam menghubungkan Nusantara dengan peradaban lain melalui jalur perdagangan, yang kemudian juga memengaruhi perkembangan kuliner.

Kerajaan Sriwijaya, sebagai pusat perdagangan yang menguasai Selat Malaka, menjadi salah satu pusat penting dalam sejarah kuliner Nusantara. Kerajaan ini memiliki pengaruh besar terhadap pergerakan bahan pangan dan rempah-rempah di wilayah Asia Tenggara. Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang besar, dan kekayaannya sebagian besar diperoleh melalui perdagangan internasional, terutama rempah-rempah seperti lada, cengkeh, dan kayu manis, yang sangat dicari oleh pedagang dari India, Arab, dan Tiongkok.

Rempah-rempah ini kemudian menjadi bagian integral dalam masakan Nusantara, baik untuk tujuan kuliner maupun pengobatan tradisional. Bumbu-bumbu seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan kemiri menjadi elemen penting dalam berbagai masakan, seperti hidangan kari dan sayuran berbumbu.

2. Pengaruh Agama dan Tradisi Ritual

Selain perdagangan, penyebaran agama juga berperan besar dalam membentuk budaya kuliner di Nusantara pada masa ini. Agama Hindu dan Buddha, yang mulai menyebar ke Nusantara sekitar abad ke-4, membawa serta tradisi kuliner yang dipengaruhi oleh filsafat dan keyakinan agama tersebut. Hindu, misalnya, memperkenalkan praktik-praktik vegetarianisme yang didasarkan pada keyakinan tentang karma dan penghormatan terhadap kehidupan. Meskipun vegetarianisme tidak sepenuhnya diadopsi oleh penduduk Nusantara, pengaruhnya tetap tercermin dalam penggunaan bahan-bahan nabati dan rempah-rempah.

Dalam tradisi Hindu dan Buddha, makanan juga memiliki makna ritual yang penting. Beberapa makanan dipersembahkan sebagai bagian dari upacara keagamaan, terutama dalam bentuk sesajen kepada para dewa dan roh leluhur. Praktik ini masih dapat dilihat hingga hari ini dalam tradisi upacara di Bali dan Jawa, di mana nasi kuning, buah-buahan, dan kue tradisional sering menjadi bagian dari sesaji. Penggunaan bahan-bahan seperti nasi, pisang, dan kelapa dalam sesaji menandakan bagaimana bahan pangan lokal menjadi pusat dari ekspresi keagamaan dan spiritual.

3. Teknik Memasak dan Pengawetan Makanan

Teknik memasak yang berkembang pada masa ini juga mencerminkan adaptasi terhadap iklim tropis serta kebutuhan untuk menyimpan makanan lebih lama. Pengawetan makanan menjadi penting karena kondisi cuaca di Nusantara yang panas dan lembab. Teknik-teknik pengawetan seperti pengasapan, pengasinan, dan pengeringan digunakan untuk memperpanjang umur simpan ikan, daging, dan hasil laut lainnya. Ikan asin, yang masih populer hingga saat ini, merupakan salah satu bentuk warisan dari teknik pengawetan makanan pada masa lalu.

Selain pengawetan, teknik memasak seperti mengukus, merebus, dan memanggang juga banyak digunakan dalam kuliner Nusantara. Masakan seperti pepes, di mana bahan-bahan seperti ikan atau ayam dibungkus daun pisang dan kemudian dikukus, sudah ada sejak lama. Penggunaan daun pisang sebagai pembungkus tidak hanya memberikan aroma yang khas, tetapi juga membantu menjaga kelembutan dan kelezatan bahan makanan saat dimasak.

4. Interaksi dengan Pedagang Asing: Jejak Tiongkok dan India

Pada abad ke-4 hingga ke-10 Masehi, jalur perdagangan yang melintasi Nusantara tidak hanya mempertemukan para pedagang lokal, tetapi juga pedagang asing dari Tiongkok, India, dan Arab. Interaksi ini membawa pengaruh besar terhadap kuliner setempat. Dari India, misalnya, datanglah berbagai bumbu seperti ketumbar, jintan, dan kayu manis yang kemudian diintegrasikan ke dalam masakan Nusantara. Hidangan kari yang kita kenal hari ini adalah hasil dari pengaruh masakan India yang masuk melalui jalur perdagangan dan interaksi budaya.

Tiongkok, di sisi lain, memperkenalkan teknik memasak yang berbeda, seperti tumis dan goreng. Salah satu warisan penting dari pengaruh Tiongkok pada kuliner Nusantara adalah penggunaan kedelai dan produk olahannya, seperti tahu dan tempe. Meski tempe merupakan inovasi lokal yang berkembang di Jawa, akar kulinernya dapat ditelusuri dari interaksi dengan budaya Tiongkok. Kedatangan pedagang Tiongkok juga memperkenalkan mie dan berbagai olahan berbahan dasar tepung, yang kemudian menjadi makanan yang digemari di Nusantara.

5. Nasi sebagai Pusat Hidangan

Pada masa ini, nasi sudah menjadi makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Nusantara, terutama di wilayah Jawa dan Sumatra. Penanaman padi di sawah basah berkembang pesat, dan teknik pertanian yang lebih maju memungkinkan masyarakat untuk memproduksi beras dalam jumlah besar. Nasi tidak hanya berfungsi sebagai makanan sehari-hari, tetapi juga menjadi simbol kemakmuran dan kesuburan. Dalam beberapa upacara adat, nasi berwarna (seperti nasi kuning) digunakan untuk merayakan kelahiran, pernikahan, atau peristiwa penting lainnya.

Bersamaan dengan nasi, berkembang pula berbagai hidangan pendamping yang berbasis sayuran, daging, dan ikan. Hidangan sayur seperti gangan, yang merupakan masakan berkuah dengan bumbu rempah, serta lalapan (sayuran segar yang dimakan dengan sambal), menjadi bagian dari tradisi kuliner yang terus bertahan hingga hari ini. Sambal, meskipun cabai belum dikenal luas pada periode ini, dibuat dari bahan-bahan seperti bawang, kemiri, dan rempah-rempah lainnya, menjadi elemen penting yang memberikan rasa pedas dan gurih pada hidangan.

6. Kesimpulan: Warisan Kuliner yang Berkelanjutan

Kuliner Nusantara pada abad ke-4 hingga abad ke-10 Masehi adalah refleksi dari perjalanan panjang interaksi budaya, perdagangan, dan perkembangan kerajaan-kerajaan besar. Dari pengaruh rempah-rempah hingga adaptasi teknik pengawetan dan memasak, setiap elemen kuliner mencerminkan kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual masyarakat pada masa itu. Makanan bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan hubungan antar-manusia.

Hingga saat ini, banyak dari tradisi kuliner yang berkembang pada periode tersebut masih dapat ditemukan di berbagai daerah di Nusantara. Sambal, tempe, pepes, dan nasi kuning adalah contoh-contoh nyata dari bagaimana kuliner masa lalu terus hidup dan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Perpaduan antara bahan lokal dan pengaruh asing telah menciptakan masakan Nusantara yang kaya akan rasa, warna, dan makna, menjadikannya salah satu warisan budaya yang paling berharga di Indonesia.

Sumber Artikel:

Sejarah Kerajaan Sriwijaya dan Pengaruhnya terhadap Perdagangan Rempah.

Tradisi dan Ritual Makanan dalam Agama Hindu dan Buddha di Nusantara.

Pengaruh Tiongkok dan India terhadap Kuliner Nusantara di Masa Klasik.