Sejarah Kuliner Nusantara Pada Abad Ke-11 Hingga Abad Ke-18 Masehi

Sumber gambar : https://jalurrempah.kemdikbud.go.id

 

Perdagangan, Kolonialisme, dan Akulturasi Rasa

Perjalanan kuliner Nusantara antara abad ke-11 hingga abad ke-18 Masehi merupakan sebuah babak yang dipengaruhi oleh dinamika perdagangan internasional, perkembangan kerajaan-kerajaan besar, dan kolonialisme. Masa ini menandai titik penting dalam sejarah kuliner Indonesia, di mana beragam tradisi masakan lokal berkembang bersamaan dengan masuknya pengaruh dari luar negeri, termasuk rempah-rempah eksotis yang menjadikan Nusantara sebagai pusat perhatian dunia.

1. Zaman Kerajaan dan Pusat Perdagangan Rempah

Abad ke-11 hingga ke-15 Masehi menyaksikan kemunculan dan perkembangan kerajaan-kerajaan maritim besar seperti Majapahit di Jawa, Samudera Pasai di Sumatra, serta Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku. Periode ini merupakan zaman keemasan bagi perdagangan rempah-rempah, yang membawa Nusantara pada peta perdagangan dunia.

Salah satu pilar kuliner yang muncul dari era ini adalah penggunaan rempah-rempah yang melimpah, seperti cengkeh, pala, lada, kayu manis, dan jahe. Bahan-bahan ini tidak hanya digunakan dalam masakan sehari-hari, tetapi juga dalam pengobatan tradisional dan upacara adat. Masyarakat Nusantara sudah sangat terbiasa dengan cita rasa kaya yang dihasilkan dari kombinasi rempah-rempah lokal. Hidangan seperti gulai, rendang, dan semur mulai muncul sebagai bagian dari tradisi kuliner kerajaan.

Kerajaan Majapahit, misalnya, merupakan pusat kekuasaan yang mempertemukan berbagai budaya dan tradisi dari wilayah kekuasaannya yang luas. Dalam konteks kuliner, kerajaan ini dikenal sebagai tempat di mana berbagai hidangan berbahan dasar nasi, daging, dan sayuran dipadukan dengan bumbu rempah yang kuat. Hidangan seperti nasi tumpeng, yang digunakan dalam upacara ritual dan perayaan, mencerminkan bagaimana makanan bukan hanya tentang rasa, tetapi juga simbolisme sosial dan spiritual.

2. Masuknya Islam dan Pengaruh Kuliner Timur Tengah

Pada abad ke-13, Islam mulai menyebar ke Nusantara melalui jalur perdagangan, terutama di pesisir Sumatra dan Jawa. Dengan masuknya Islam, muncul pula pengaruh baru dalam tradisi kuliner, terutama dari dunia Arab dan Persia. Sate, misalnya, adalah salah satu hidangan yang dipengaruhi oleh kebab dari Timur Tengah, tetapi dengan adaptasi lokal. Daging yang digunakan lebih beragam, dari ayam hingga kambing, dan dipadukan dengan bumbu kacang khas Nusantara.

Selain itu, hidangan berbasis kambing seperti gulai kambing dan nasi kebuli juga menunjukkan perpaduan antara budaya kuliner Timur Tengah dan lokal. Proses memasak yang lambat dengan bumbu yang kaya rempah menciptakan cita rasa yang intens dan mendalam, yang menjadi ciri khas kuliner Nusantara hingga saat ini. Makanan berbahan dasar daging kambing dan sapi sering kali menjadi menu utama dalam perayaan-perayaan besar, seperti Idul Adha.

Masjid dan pesantren yang mulai bermunculan di Nusantara juga berperan dalam penyebaran tradisi kuliner Islam. Makanan tidak hanya disajikan dalam konteks sosial, tetapi juga dalam upacara-upacara keagamaan, seperti penyajian bubur saat perayaan Maulid Nabi atau saat Ramadan. Pengaruh Islam membawa pula konsep halal yang mulai memengaruhi pilihan bahan makanan, terutama terkait daging dan cara penyembelihannya.

3. Kedatangan Bangsa Eropa: Portugis, Spanyol, dan Belanda

Perubahan besar dalam sejarah kuliner Nusantara terjadi ketika bangsa Eropa, terutama Portugis dan Spanyol, tiba di Maluku pada abad ke-16. Mereka tertarik dengan kekayaan rempah-rempah Nusantara, yang pada saat itu menjadi barang dagangan paling berharga di Eropa. Cengkeh dan pala dari Maluku adalah salah satu komoditas yang menyebabkan bangsa-bangsa Eropa berlomba-lomba untuk menguasai kepulauan ini.

Portugis, yang pertama kali datang pada awal abad ke-16, membawa serta teknik pengawetan makanan dengan garam, yang kemudian diterapkan pada hasil laut di Nusantara. Salah satu warisan kuliner Portugis yang bertahan hingga hari ini adalah hidangan ikan asin. Spanyol, yang sempat mendirikan pos di Tidore, juga meninggalkan jejak dalam teknik memasak, terutama dalam pembuatan kue-kue berbasis tepung, seperti kue lapis dan pastel.

Namun, yang paling lama dan berdampak signifikan adalah kehadiran Belanda yang mulai mendominasi Nusantara pada abad ke-17. Selama masa penjajahan Belanda, kuliner Nusantara mengalami akulturasi yang kuat. Hidangan seperti semur daging dan perkedel adalah hasil adaptasi dari hidangan Belanda seperti stoofpot dan frikadel. Meski demikian, cita rasa Nusantara yang kaya rempah tetap mendominasi, dengan tambahan bumbu seperti pala, kayu manis, dan cengkeh yang memperkaya hidangan-hidangan ini.

Belanda juga memperkenalkan tanaman-tanaman baru seperti kopi, cokelat, dan tebu yang kelak menjadi bagian penting dari ekonomi dan kuliner Nusantara. Kopi terutama, berkembang pesat dan menjadi salah satu komoditas ekspor utama yang membawa Indonesia ke peta perdagangan dunia.

4. Pengaruh Kuliner Tiongkok dan India

Pada masa yang sama, perdagangan dan migrasi dari Tiongkok dan India terus berlangsung, memperkaya tradisi kuliner Nusantara. Para pedagang Tiongkok yang bermukim di Nusantara membawa serta makanan-makanan khas seperti bakmi, lumpia, dan bakso. Hidangan-hidangan ini kemudian diadaptasi dengan bahan-bahan lokal, seperti penggunaan bumbu rempah yang lebih kuat dan sambal sebagai pelengkap.

Di sisi lain, pengaruh kuliner India terus menyebar melalui jalur perdagangan rempah dan kehadiran komunitas India di beberapa wilayah seperti Aceh dan Sumatra Barat. Hidangan seperti roti canai, kari, dan martabak menunjukkan adaptasi dari masakan India yang sudah disesuaikan dengan selera Nusantara. Teknik memasak kari yang kaya bumbu, misalnya, berkembang menjadi berbagai variasi lokal, seperti gulai dan rendang, yang menjadi ikon kuliner Sumatra Barat.

5. Kolonialisme Belanda dan Lahirnya “Rijsttafel”

Pada abad ke-18, Belanda memperkenalkan konsep “rijsttafel”, yang secara harfiah berarti “meja nasi”. Rijsttafel adalah tradisi makan besar yang menampilkan beragam hidangan Nusantara yang disajikan secara bersamaan di meja. Meski terinspirasi oleh tradisi makan lokal, rijsttafel mencerminkan keinginan para penjajah Belanda untuk memamerkan kekayaan dan keragaman masakan Nusantara kepada tamu-tamu Eropa.

Hidangan dalam rijsttafel meliputi nasi, sate, rendang, opor, sayur lodeh, dan sambal. Tradisi ini menjadi simbol status dan lambang kemewahan dalam budaya kolonial Belanda, tetapi di saat yang sama memperkenalkan kuliner Nusantara kepada dunia Barat. Melalui rijsttafel, hidangan-hidangan Nusantara mulai dikenal luas dan menjadi bagian dari budaya kuliner Belanda hingga saat ini.

6. Kesimpulan: Perpaduan yang Melahirkan Kekayaan Rasa

Periode antara abad ke-11 hingga abad ke-18 Masehi adalah masa penting dalam sejarah kuliner Nusantara. Interaksi dengan pedagang asing, pengaruh agama, dan penjajahan Eropa semuanya berperan dalam membentuk tradisi kuliner yang kaya dan beragam. Dari penggunaan rempah-rempah yang melimpah hingga pengaruh kuliner Arab, India, Tiongkok, dan Eropa, masakan Nusantara menjadi cerminan dari akulturasi budaya yang kompleks dan dinamis.

Warisan kuliner dari masa ini masih bisa dinikmati hingga hari ini, mulai dari hidangan-hidangan lokal seperti rendang, sate, dan gulai, hingga pengaruh asing seperti bakso dan roti canai. Kuliner Nusantara bukan hanya soal rasa, tetapi juga merupakan saksi bisu dari perjalanan sejarah panjang yang melibatkan kekuatan, perdagangan, dan pertukaran budaya.